Mengintip Negeri Para Nabi

Mengintip Negeri Para Nabi
(Karakter Ilmuan, Al Azhar dan Kita)
By Al Faqir Guru Ngaji
Pertama kali menginjakkan kaki di Mesir  pada 2016 membuat hati  deg-degan, sepertinya saya sedang masuk di ‘area’  dengan atmosfir berbeda.
‘Medan Magnet’ di ‘Bumi Para Nabi’ ini seolah lebih dahsyat dari di Indonesia, sehingga daya tariknya nyaris tak tertahan dan tak terbendung.
Kendati ada kontras antara perspektif saya tentang Mesir sebagai ‘Negeri Muslim Ideal’ dengan fakta yang sebenarnya, namun tidak mengurangi rasa ‘penasaran’ saya tentang rahasia ‘apa’ yang tersimpan di tempat kelahiran Yusuf ini.
Mesir ternyata bukan seperti Malaysia yang relatif bersih, tertib, dan disiplin. Bukan juga seperti Qatar dan Abu Dabi yang nyaris tertata rapi seperti Eropa, sehingga indah dan menggoda.
Negeri ‘Seribu Menara’ ini hanya sebuah negeri yang jika dibaca dari permukaan, kurang menarik bagi mereka yang katanya berperadaban ‘modern’.
Betapa tidak, di negeri yang dialiri sungai Nil ini, sampah belum terkelola dengan baik, disiplin berlalu lintas masih jauh dari harapan, dan pelayanan publik belum terselenggara sesuai mestinya seperti di negara-negara Eropa dan Amerika yang katanya ‘berperadaban tinggi’?
Namun uniknya, dari rahim negeri ini lahir tokoh-tokoh dan ulama-ulama luar biasa yang kapasitasnya diakui oleh umat Islam di seluruh dunia dari dulu hingga saat ini.
Al-Azhar sebagai salah satu ‘icon’ Egypt yang didirikan oleh dinasti Fatimiyah dan merupakan salah satu universitas tertua di dunia memiliki daya tarik luar biasa yang tak henti-hentinya memproduksi ilmuan dari berbagai negara.
Ulama sekelas Abdul halim Mahmud, Wahbah Zuhaili, Yusuf al-Qardawi, Syekh Ali Jum’ah berasal dari institusi Al Azhar. Di Indonesia ada Quraisy Syihab, Tuan Guru Bajang dan Abdus Samad yg lg booming.
Kapasitas dan kapabilitas mereka telah diakui dan dijadikan marja’ taqlid di banyak negara Muslim, apalagi dalam merespon isu-isu modernitas yang dinamikanya sangat dinamis.
Di sisi lain, negeri-negeri yang katanya ‘berperadaban tinggi’ dan ‘modern’ tersebut, justru miskin ulama  yang kaliber dan kapabilitasnya dapat menandingi atau sekedar ‘mampu bersaing’ dengan ulama-ulama alumni Al Azhar? Apalagi dikaitkan dengan tingkat ‘akseptabilitas’ mereka di tengah umat Islam.
Kelihatannya, produk Al Azhar secara umum lebih piawai, lebih lincah, dan lebih dapat diterima umat Islam karena memiliki wawasan luas sesuai tuntutan spektrum pemahaman umat Islam di dunia yang warna warni.
‘Negeri yang apa adanya, tetapi melahirkan ilmuan-ilmuan ‘luar biasa’ (khususnya dalam bidang agama). Ini lah pertanyaan besarnya? Dan saya belum menemukan jawabannya secara pasti?
Namun dari hasil pengamatan dan informasi yang dapat dikumpulkan, kekuatan Mesir dengan Al Azharnya dalam bidang pendidikan, bukanlah terletak pada fasilitas yang luar biasa seperti yang dimiliki oleh universitas2 lain di Eropa dan Amerika, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki dan menjadi visi dan misi Al Azhar serta para tenaga pendidiknya.
Di antara nilai-nilai itu adalah ‘keikhlasan’. Kalau bukan karena keikhlasan, mana mungkin lebih dari 3000 mahasiswa Indonesia dan puluhan ribu dari negara lain dapat kuliah dengan gratis di tempat ini.
Para ‘penuntut ilmu’ itu hanya perlu menyiapkan bekal hidup dan tempat tinggal jika tidak lolos seleksi beasiswa dan tinggal di asrama yang disiapkan oleh Al Azhar sendiri. Suatu model pengelolaan pendidikan luar biasa dan mungkin satu-satunya di dunia.

Nilai lain yang kelihatnnya ditanamkan pada mahasiswa Al Azhar adalah ‘kemandirian’. Al Azhar mandiri secara finansial karena dikembangkan lewat gerakan wakaf yang dikelola dengan baik.
Menurut penuturan mahasiswa yang kuliah di Al Azhar, hampir seperempat dari kekayaan Mesir merupakan milik Al Azhar. Institusi ini sangat kaya dengan berbagai macam badan usaha yang dikelolanya, sehingga di saat perang dengan Israel, pemerintah mesir sempat berhutang kepada Al Azhar demi memenuhi kebutuhan operasionalnya.
Secara tidak langsung Al Azhar memberi contoh yang ideal pada ‘para mahasiswa’ bahwa kemandirian finansial adalah sesuatu yang harus diperjuangkan jika ingin hidup sukses dan bermartabat.
 
Nilai berikutnya adalah konsistensi pada standar kelulusan yang ditetapkan dalam perkuliahan.
Standar penilaian Al Azhar benar-benar dijalankan dan diterapkan dengan baik, sehingga bagi mereka yang tidak ‘lolos’ ujian akan gagal dengan sendirinya.
Al Azhar tidak menjalankan sistem SKS, dan tidak bingung dan harus ‘lues’ dengan standar kelulusan demi mengikuti tuntutan dan standar BAN PT seperti di Indonesia.
Fakta al azhar menunjukkan pada kita bahwa eksistensi pendidikan dan lembaga pendidikan sangat dipengaruhi oleh finansial dan ekonomi.
Kekuatan finansial dan ekonomi sangat menentukan maju atau mundur, berkualitas atau tidaknya lembaga pendidikan.
Karenanya, anggota kamus walaupun konsentrasi fokus dibidang pendidikan, tetapi dalam memainkan kiprahnya, apalagi bercita-cita mengembangkan lembaga pendidikan harus menyadari urgensi pembangunannya ekonomi.
Kuat tidaknya Sumber2 finansial menentukan cetak biru lembaga itu di masa depan.
Disinilah urgensi bidang ekonomi dalam kamus.  Apapun konsentrasi seorang kader, apapun spesialisasinya, urgensi Sumber finansial yg didapatkan dari hasil inovasi dan kreasi merupakan keniscayaan.
Kamus bercita cita menjadikan kadernya mandiri, bermartabat dan independen.
Kemampuan akademis, organisatoris dan bagaimana menjual ide, gagasan dan produk idealnya menyatu dalam tubuh seorang anggota kamus.
Kalau bukan karena pentingnya Sumber2 finansial bagaimana mungkin lembaga2 pendidikan negeri  IAIN, UIN dan UNIMED berupaya menjadi BLU atau BHMN.
Ini artinya, jika ingin sebuah lembaga lebih maju dan berkualitas, maka dukungan finansial sangat dibutuhkan. Institusi 2 negeri tidak cukup mengandalkan anggaran dari pemerintah,  tetapi harus kreatif mencari income tambahan.
Oleh karenanya, mari kita berupaya memahami dengan baik tugas2 kemanusiaan kita, sehingga kita juga akan memahami dengan baik bagaimana berpikir, berbuat dan menentukan langkah 2 strategis perjuangan ke depan.

Comments

Popular posts from this blog

Ketika 'Buku buku' di makan rayap

Melawan Lupa