Ketika 'Buku buku' di makan rayap

Ketika 'Buku buku' di Makan Rayap
Sebuah keprihatinan 'Si Guru Ngaji'

Ketika anda berjalan di kota Qum (Iran), maka di sepanjang jalan akan ditemukan lebih banyak penjual buku di banding penjual makanan.

Berbeda dengan ketika anda berjalan di kota Jakarta misalnya, atau kota-kota lain di Indonesia, maka anda akan menemukan penjual makanan yang berjubel, dan akan kesulitan mencari penjual buku/toko buku.

Begitu juga tatkala anda naik kereta api di Mesir, anda akan menyaksikan begitu banyak orang yang membaca buku atau Alquran.

Berbeda dengan naik kereta api di Indonesia, anda tidak akan menemukan hal yang sama, yang anda temukan adalah orang-orang yang sibuk main game, otak atik HP, ber facebook atau twitter (sukur jika dimanfaatkan untuk membaca atau hal positif lainnya).

Kemudian, berkunjunglah ke berbagai sekolah dan kampus di Indonesia, anda akan menemukan bahwa di kantin akan lebih ramai daripada di perpustakaan. Malah, banyak sekolah atau kampus yang tidak memiliki perpustakaan, atau buku-buku di perpustakannya rusak di makan rayap.

Dengarkan juga lah percakapan mayoritas siswa dan mahasiswa kita, maka ‘simbol’ kebanggaan mereka adalah seberapa canggih HP  atau laptopnya, seberapa mahal kenderaan atau mobilnya. Berapa sering beli baju baru, sepatu baru, tas baru dan sebagainya. Jarang kita mendengar ungkapan, ‘berapa buku barumu? Berapa buku yang kamu baca satu minggu ini? Teori dan konsep apa yang perlu didiskusikan minggu ini?’.

Kemudian, entah belajar kepada siapa bangsa ini, atau tradisi dari mana yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, sehingga merasa ‘sinis’ jika guru atau dosen menyuruh siswa atau mahasiswanya membeli buku, apalagi memaksa mereka, bisa-bisa akan dilaporkan ke Komnas HAM? Padahal itu merupakan salah satu tugas guru atau dosen, masak guru atau dosen menyuruh beli bakwan, daging, ayam, bawang, timun dan lain-lain.

Lihat juga kebiasaan masyarakat kita membangun rumah, biasanya yang di percantik adalah kamar tidur dan ruang tamu, jarang yang menyiapkan ruang pustaka, lemari atau hanya sekedar rak buku. Jika pun punya aksesoris interior mahal biasanya berupa benda atau perhiasan sebagai ‘simbol’ atau membangun ‘imej’ bahwa ia adalah kelompok orang-orang ‘berkelas’.

Lebih miris dan lucu lagi, ketika kebanyakan masyarakat kita memperlakukan buku dengan sangat kejam. Setelah selesai dipelajari, dikoyak dan dijadikan pembungkus ikan asin, untuk ngelap kotoran, atau diikat dengan ketat dan dimasukkan ke gudang, karena ‘manyomak’ atau mengganggu keindahan pandangan di rumahnya yang begitu rapi dan artistik?

Menurut pengamatan penulis, seperti ini lah sikap mayoritas masyarakat kita terhadap buku yang di dalamnya ditulis ilmu pengetahun.

Ilmu Pengetahuan yang dimiliki manusia selain diperoleh dengan mendengar, mengamati ciptaan Allah, langsung (huduri) dari Allah lewat hati, juga dengan membaca buku yang dalam bahasa arab disebut ‘kitab’.

Tapi miris sekali, buku diperlakukan tidak adil, kurang dihargai, dan diposisikan sebagai nomor seratus dalam menentukan skala prioritas kecenderungan hidup kita.

Barangkali inilah salah satu alasannya kenapa bangsa kita terbelakang hampir di semua aspek, terutama dalam bidang pendidikan.

Peringkat pendidikan Indonesia berada di bawah Malaysia yang dulunya belajar kepada kita. Out put lembaga pendidikan indonesia sulit diharapkan dapat bertarung di kancah regional, apalagi internasional, tanpa bermaksud menapikan ada putra/i Indonesia yang menonjol, tetapi belum dapat merepresentasikan keseluruhan anak-anak Indonesia yang jumlahnya puluhan juta orang.  

Oleh karena itu, sangat urgen bagi kita merenung dan introspeksi diri terkait mainset dan perlakuan kita terhadap buku/kitab sebagai salah satu sumber pengetahuan.

Padahal, sebagai Muslim kita memahami bahwa Islam memposisikan buku sangat penting dan strategis.

Beberapa kali Alquran menyebut istilah kitab/buku dalam Alquran. Sebagian bercerita tentang buku/kitab yang diturunkan kepada beberapa Nabi, sebagian lagi menjelaskan urgensi mempelajari kitab Alquran yang berisi petunjuk dan mengandung informasi yang pasti, misalnya saja ayat kedua surat Al-Baqarah.

Tradisi tulis sebagai prasyarat lahirnya sebuah buku juga telah ditekankan oleh Nabi Saw sejak awal risalahnya, semua wahyu yang turun kepada Nabi disuruh dituliskan agar tetap terjaga orisinalitasnya. Tradisi ini kemudian diikuti oleh para sahabat, tabiin, dan ulama setelahnya. Atas jasa para penulis kitab/buku itulah pengetahuan itu sampai kepada kita saat ini.

Kemudian beberapa buku karya ulama atau ilmuan juga telah banyak yang menjelaskan ‘pentingnya buku’ dan bagaimana ‘adab kita terhadap buku’, seperti Ta’lim al-Muta’allim karya az-Zurnuzi, dan Tazkirah as-Sami’ karya Ibnu Jama’ah.

Kedua buku ini menjelaskan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap buku, mulai cara memegangnya, membawanya, meletakkannya dan menyusunnya.

Bahkan bagaimana adab tatkala akan membaca buku juga diuraikan, misalnya perlu diawali dengan berwudu’ terlebih dahulu (suci), lalu membaca bismillah dan salawat kepada Nabi, dan ditutup dengan membaca hamdalah dan berdo’a.

Begitu majunya tradisi ‘baca’ di awal perkembangan Islam dapat disaksikan dari gerakan ‘penerjemahan’ yang dilakukan umat Islam.

Karya aristoteles, plato, Pithagoras dan lain-lain dari filosof Yunani habis diarabisasi sehingga dapat dibaca umat Islam yang haus pengetahuan.

Ibnu Sina (salah seorang filosof Muslim) membaca tidak kurang dari 40 kali karya Aristoteles dalam bahasa aslinya, tetapi ia belum dapat memahaminya sebelum membaca hasil terjemahan Al-Farabi tentang buku itu.

Tradisi baca inilah yang membawa umat Islam maju dan menjadi pusat keilmuan dunia beberapa abad lamanya. Fisikawan, kimiawan, matematikawan, biologian, dan lainnya lahir dari rahim umat Islam.

Dengan demikian, Tradisi baca adalah tradisi Muslim yang banyak kita tinggalkan, padahal kita semua hafal sejarah dan ayat pertama diturunkan. Ungkapan ‘Iqra’ adalah term yang selalu kita sampaikan, tetapi tidak diaplikasikan dalam kehidupan. Karena itulah kita sulit maju dan berkembang.

Fa'tabiru....

Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Negeri Para Nabi

Melawan Lupa